Bagi investor asing, hukum dan undang-undang menjadi salah
satu tolok ukur untuk menentukan kondusif tidaknya iklim investasi di suatu
negara. Dalam tiga dekade belakangan ini, pelaku usaha yang menanam modal di
negara berkembang sangat mempertimbangkan kondisi hukum di negara tersebut.
Infrastruktur hukum bagi investor menjadi instrumen penting dalam menjamin
investasi mereka. Hukum bagi mereka memberikan keamanan, certainty dan
predictability atas investasi mereka. Semakin baik kondisi, hukum dan
undang-undang yang melindungi investasi mereka semakin dianggap kondusif iklim
investasi dan negara tersebut.[1] Dari pengertian tersebut politik hukum
mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat
dan arah kemana hukum akan dibangun dan ditegakkan; terjadinya perubahan
struktur sosial, politik hukum harus mengarah pada upaya penyesuaian dengan
struktur baru, sebab hukum bukan bangunan yang statis melainkan bisa berubah
karena fungsinya melayani masyarakat.
Dalam rangka menciptakan produk hukum yang berfungsi
melayani masyarakat maka pembentukan undang-undang harus dapat melahirkan
produk yang berkarakter responsif atau populistik yaitu produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan mencerminkan harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan yang besar dan partisipasi penuh
kelornpok-kelompok sosial atau individu. Untuk mengkualifikasi apakah suatu
produk hukum tersebut bersifat responsif, indikator yang dipakai adalah proses
pembuatan hukum, sifat fungsi hukum dan kemungkinan penafsiran atas produk
hukum. Produk hukum yang karakternya responsif, proses pembuatannya bersifat
partisipatif yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat.
Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif
yaitu: memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau
kehendak masyarakat yang dilayaninya.
Jika dilihat dari segi penafsiran maka produk hukum yang
berkarakter responsif/populistik biasanya memberi sedikit peluang bagi
pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan
pelaksanaan dan peluang yang sempit itu hanya berlaku untuk hal-hal yang
bersifat teknis. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengetengahkan teori
mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat, yakni:
Hukum Represif yaitu hukum yang merupakan alat kekuasaan
represif;
Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu
menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri; dan
Hukum Responsif, yaitu hukum yang merupakan sarana respons
atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat
Masuknya modal asing dalam perekonomian Indonesia merupakan
tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik. Penghimpunan dana pembangunan
perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung sangat baik
dibandingkan dengan penarikan dana internasional lainnya seperti pinjaman luar
negeri. Modal asing yang dibawa oleh investor merupakan hal yang penting
sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi global. Selain itu, kegiatan
ekonomi akan memberikan dampak positif bagi negara penerima modal seperti
mendorong pertumbuhan bisnis, adanya suplai teknologi dan investor baik dan
bentuk proses produksi maupun permesinan dan penciptaan lapangan kerja. Washington Post dalam artikelnya menyebutkan kurangnya sistem hukum yang pasti
di Indonesia merupakan faktor utama mengapa investor pergi. Kurangnya
kepercayaan investor membuat perginya modal asing yang sangat dibutuhkan oleh
Indonesia untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang belum pulih akibat krisis
finansial Asia tahun 1997-11998. Investor asing juga sering mengeluh bahwa
mereka sering kali dijadikan subjek tuntutan sewenang-wenang oleh pejabat
pemerintah, petugas pajak, dan mitra lokal. Kepastian hukum itu sendiri bagi
investor adalah tolok ukur untuk menghitung risiko. Bagaimana risiko dapat
dikendalikan dan bagaimana penegakan hukum terhadap risiko. Jika penegakan hukum
tidak mendapat kepercayaan dari investor maka hampir dapat dipastikan investor
tidak akan berspekulasi di tengah ketidakpastian. Berbagai peraturan
perundang-undangan tidak akan berarti tanpa ada jaminan legal certainty atau
kepastian hukum atas keputusan yang ditetapkan. Dalam dunia usaha, pelaku usaha
memerlukan syarat esensial ketika berbisnis; dan prasyarat bagi setiap
transaksi bisnis, yaitu adanya kepastian hukum (legal certainty). Ketidakpastian hukum dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kebijakan atau
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya,
atau aturan yang dibuat tidak mengindahkan peraturan atau tidak mencabut
peraturan sebelumnya untuk aspek yang sama. Terkadang juga peraturan dibuat
berlaku surut, proses pengambilan keputusan pejabat negara yang tidak konsisten
dan tidak transparan. Semua hal tersebut membuat pengusaha atau investor merasa
berada di persimpangan jalan, menimbulkan perasaan tidak adanya kepastian hukum
dan ketidakpastian usaha.
Secara umum kepastian hukum sebagai konsep menekankan pada
perkataan kepastian dan mengenai kepastian (certainty) itu sendiri berarti
absence of doubt; accuracy; precision; definite. Kepastian hukum mengarah
pada deskripsi tentang hukum yang meyakinkan, teliti, tepat, dan pasti. Menurut
Gustav Radbruch, kepastian hukum merupakan salah satu elemen yang disebut cita
hukum atau the idea of law di samping elemen keadilan (justice) dan kepatutan
(expediency). Kepastian hukum mempersyaratkan hukum menjadi hukum positif (to
be positive). Kepastian hukum sangat dibutuhkan oleh investor sebab dalam
melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi juga
ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Dikemukakan oieh O. Notohamidjojo, bahwa tujuan hukum ada tiga yang perlu
saling harmonis yakni keadilan, daya guna dan kepastian hukum.Dalam
literatur ilmu hukum sendiri, terdapat berbagai teori tujuan hukum, antara lain
Teori Etis yang menekankan kepada keadilan. Teori Utilitas, yang menekankan
kepada faedah atau guna. Teori ini menekankan kepada kepastian hukum. Teori
Pengayoman, yang menekankan kepada perlindungan kepada manusia dalam arti pasif
dan aktif. John Rawls, dalam A Theory of Justice, keadilan merupakan suatu
nilai yang mewujudkan keseimbangan antara bagian-bagian dalam kesatuan, antara
tujuan-tujuan pribadi dan tujuan bersama.
Merujuk uraian di atas, keberadaan hukum terutama kepastian
hukum bagi investor merupakan pegangan dalam menjalankan dan menanamkan modalnya
di Indonesia sangat penting. Apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan,
maka kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Hal ini dikarenakan tidak jarang
kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak
jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Dalam hal
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan yang
harus diutamakan. Keadilan pada umumnya lahir dan hati nurani pemberi keadilan;
sedangkan kepastian hukum lahir dan sesuatu yang konkret. Kepastian hukum dalam
hukum investasi positif yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berkaitan erat dengan kebijakan dasar
penanaman modal yang menempatkan pemerintah agar:
memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri
dan penanaman modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional;
menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan
berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya
kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan
perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, asas kepastian
hukum ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, dalam penjelasannya: asas
dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan
perundangundangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam
bidang penanaman modal.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak kepastian hukum
mengandung persamaan dengan supremasi hukum. Isu supremasi hukum yang
berkembang bersamaan dengan urgensi adanya hukum yang pada dasarnya bertujuan:
pertama, mewujudkan keadilan (teorietis). Dalil-dalil Aristoteles menunjukkan,
keadilan tercapai karena setiap orang diberikan bagian sesuai jasanya dan
diberikan bagian yang sama tanpa memperhatikan jasanya; kedua, dalam rangka
memberikan manfaat (teori utilitas). Dalam hal ini hukum bertujuan mewujudkan kebahagiaan
sebanyak mungkin orang. Kebahagiaan ini terwujud apabila setiap orang
memperoleh kesempatan sama dibarengi penciptaan ketertiban. Syarat terakhir ini
melahirkan kebutuhan mengenai kepastian hukum. Supremasi hukum dan
kepastian hukum tampak memiliki hubungan saling melengkapi.
Referensi:
[1] Hikmahanto, Juwana, tt, Arah Kebijakan Pembangunan Hukum
di Bidang Perekonomian dan Investasi, Makalah, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional), hlm. 10-11.
[2]ilbid., hlm. 10.
[3] Mulyana W. Kusumah, Perspektif Teori, dan Kebzjaksanaan
Hukum, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 12.
[4] DeiissaA., Ridgway, & MariyaA., Talib, Spring 2003,
Globalization and Development: Free Trade, Foreign Aid, Investment and The Rule
of Law, daiam California Western InternationalLawJournal. Vol, 33, hlm. 335.
[5] Yulianto, Syahyu, Pertumbuhan Investasi Asing di
Kepulauan Batam:Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal
Hukum Bisnis, Vol. 22-No. 5, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis,
2003), him. 46.
[6]Ibid.
[7] Ningrum Natasya, Sirait, Mencermati Undang-Undang Nomor
5 tahun 1999 Dat am Memberikan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Usaha, Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 22, (Jakarta: Yayasan Perigembangan Hukum Bisnis, 2003), him.
60.
[8] Ridwan, Khairandy, Peranan Perusahan Penanaman Modal
Asing Joint Venture dalam Ahli Teknologi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis,
Volume 22 Nomor 5, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), hlm. 51.
[9] Henry Campbell, Black, op. cit., hlm. 205.
[10] Gustav, Radbruch, Legal Philosophy, dalam The Legal
Philosophies of Lask, Radbruth, and Dabin, Translated by: Kurt Wilk,
(Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1950) hIm. 108.
[11] Sentosa, Sembiring, Hukum Investasi, Pembahasan Dilengkapi
Dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal,
(Bandung:Nuansa Aulia, 2007), hlm. 32-33.
[12]O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum,
(Jakarta: BPK, 1975), hlm. 44.
[13] Tim Pengajar PIH FH Unpar Bandung, 1995, Pengantar Ilmu
Hukum, Bandung, hIm, 37.
[14] N. A Martana, Azas Kepastian Hukum Dalarn
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Vol.
15, No. 1, (Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, 2009), him. 70-71.
[15] Lihat Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal.
[16] Putu Sudarma Sumadi, 1999, Supremasi Hukum: Validitas
Proses Pembentukan dan Konsistensi Dalam Penerapan Hukum, orasi ilmiah
disampaikan pada upacara peringatan dies natalis ke-37 Universitas
Mahendradatta 29 September 1999, hlm. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar